Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 Desember 2011

Ayahku Mengizinkan Aku Bersetubuh Dengan TTS

Lalu lalang jerit kehidupan telah hampir 18 tahun terlewati. Gundah hati, gembira jiwa terus dan silih berganti dirasakan. Berdua bersama ibu menempati gubug dengan empat peta kamar, satu ruangan tamu ditengah empat kamar tersebut, dapur dibelakang, dan satu kamar mandi yang masih amat sederhana serta satu ruangan menjorok kedepan dan memang berada paling depan tempat bernaung mencari secercah kehidupan. Indah alam didepan rumah tinggal sisa-sisa karena sebagian habis termakan arogansi dunia.
Sejak kepergian ayah pada pangkuan sang khalik saat masih duduk indah di massa kelas lima SD terus membekas dan terbayang akan rautnya. Kenangan indah saat bersamanya tinggal kenangan dan tidak akan mungkin pernah terulang. Kejadian tersebut memaksa hidup berdua bersama ibu. Torehan manis beberapa pembelajaran dari seorang ayah yang berwatak keras dalam pendidikan dan pengajaran sering aku rasakan. Keberadaan itu bisa di maklumi karena melihat latar belakang ayah secara ilmu pendidikan cerdas dan ilmu agama kuat. Predikat jawara kelas dan sekolah beliau genggam sampai lulus SLTP.
Satu pembelajaran yang menarik adalah TTS (teka-teki silang). Pengenalan ini mulai dilakukan ayah sejak saya masih duduk di bangku kelas tiga SD. Bermula dari satu TTS kecil yang isiannya hanya berkutat pada hal kecil seperta nama binatang, tumbuhan dan organ gerak mulai beliau peragakan mengisi sendiri saat sedang waktu istirahat. Setelah satu TTS terisi penuh diberikanlah TTS itu kepada saya, mungkin karena mengenal karakter anak dan bertujuan untuk memacu daya otaknya beliau sengaja mendiamkan tanpa memberi petunjuk apapun. Masih berbekas saat itu ketika saya memutar-mutar buku kecil(waktu itu belum tahu namanya TTS) lalu bertanya, "ini apa pak?", ujar saya dengan raut penasaran. Sahut ayah "ini TTS, salah satu media belajar yang tidak diajarkan disekolah". Dengan encernya pencernaan makna otak yang dimiliki bergegaslah saya membaca soal dan jawaban yang sudah diisi tadi mulai dari mendatar dan menurun. Mengebet-ngebet TTS dan memulai memahami caranya dengan nada beringas langsung berucap, "pak, besok belikan TTS seperti ini", nada tegas ayah lontarkan "SIAP".
Keesokan harinya setelah ba'da magrib diberikanlah TTS itu, kenapa mesti maghrib? Karena dari pagi sampai jam dua belas siang saya sekolah dasar, dari jam setengah satu sampai jam 3 sekolah madrasah. Setelah pulang biasanya bermain sebentar bersama kawan yang terlihat gumul seperti lumpur, TTS yg di hibahkanpun terisi dengan penuh dan tentu hasilnya memuaskan serta memakan waktu yang hanya sebentar. Melihat kejadian ini sontak ayah terlihat kgaget dan jawabannya bisa dikatakan benar semua. " hebat sekali anak bapak" sambil mengelus-ngelus kepala yang masih rapuh ini. Hari esok dan esoknya lagipun ayah terus membelikan TTS mulai dari yang kecil sampai yang besar. Semuanya itu saya kerjakan sehari satu TTS. Merasa sudah bosan tiap hari bergelut dengan TTS kecil yg tampilanya seperti komik gareng, lalu saya mengharap pada ayah untuk membelikan TTS yang besar dan keesokan harinya di belikanlah TTS itu. Seperti TTS kecil, TTS besar pun saya lahap sehari sekali. Kejadian tersebut terus berulang dan menjadi rutinitas sampai tiba suatu waktu ayah tidak membelikanTTS lagi.
Menyangsikan peristiwa yang tak lazim ini saya pun melontarkan pertanyaan kepada ayah sewaktu pulang sekolah dasar, "kok nggak dibeliin TTS?" berujar dengan nada sedikit memanja. Ayah hanya menjawab "beli saja sendiri". Tutur ayah lugas. Mendengar pernyataan membuat sedikit banyaknya saya geram, lemas dan sakit sampai pada akhirnya memutuskan untuk tidak sekolah madrasah selama sehari. Dalam benak hati terlintas apa yang dilakukah ayah adalah sebagai pembelajaran bahwa untuk menjadi manusia benar tidak selalu ketergantungan pada orang lain. Terbersit pada keesokan harinya sayapun berinisiatif untuk membeli TTS sendiri dan memakai uang saku yang diberikan untuk jajan di sekolah.
Langkah pagi menuntut ilmu dengan semangat perubahan terus menggebu bergelora. Sesampainya di sekolah langsung mendatangi pedagang maenan anak kecil dan menanyakan "mas ada TTS nggak?" ujar dengan nada memaksa, "ada tuh disana, seribu rupiah" pungkas mas pedagang berambut ikal itu. Mulai dari situ rutinitas membeli TTS sendiri setiap hari dan mengisinya terus dilakukan hingga menjadi sebuah kebiasaan yang tak biasa ditengah sebaya lainnya. Hal tersebut dilakukan sampai massa transisi sekolah dasar ke sekolah menengah pertama (SMP). Uang jajajan yang seharinya kadang dikasih seribu, dan yang paling besar dua ribu rupiah pasti saya sisihkan seribu untuk membeli TTS. Lebih baik tidak jajan, yang penting bisa membeli TTS. Hal inilah yang membuat orang tua bangga selain prestasi gemilang dikelas.
Sampai pada kepergian ayah saat kelas lima SD saya tetap melakukan rutinitas mengisi TTS hingga berakhir lsetelah lulus sekolah dan melanjutkan kesekolah lanjutan pertama. Sesampainya di SLTP saya sudah meninggalkan kebiasaan itu karena telah terkungkung dalam dunia dengan gaya yang berbeda. Sampai terbersit sekarang direlung pikir, bahwa selama kelas tiga sampai 6 SD saya telah menghabiskan uang kurang lebih 1.460.000 rupiah dari uang saku sendiri hanya untuk membeli TTS. Kenyataan ini yang membuat saya terus semangat menjalani hidup. Tetap berkeyakinan bahwa TTS telah mengantarkanku hingga sekarang mengeyam pendidikan di dunia perguruan tinggi. Perbekalan akan TTS dulu sangat bermanfaat disaat hari ini saya yakin akan menggeluti dunia perpolitikan dengan segudang perang wawasan.
Kenangan saat bersamamu ayah begitu sangat dan teramat berharga, meskipun saat ini engkau telah tenang disana yakinlah bahwa anakmu ini akan membuatmu bangga dan akan membuktikan pada langit dan bumi bahwa saya layak untuk dilahirkan dari orang tua seperti anda.
Terima kasih ayah, engkau telah mengizinkan aku bersetubuh dengan TTS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar